Quiter Can Win
Saya
sangat suka membaca artikel-artikel yang ditulis bapak Adi
W.Gunawan. Salah satu artikel yang saya suka adalah artikel
ini. Dulu saya juga seriiiinngggg mendengar ungkapan ini
"Winners never quit and quitters never win", biasanya
disampaikan okeh para motivator suatu bisnis. Apa iya???
Sejak
awal saya tidak sependapat dengan ungkapan ini. Aneh ya, jika kita berada
dalam suatu lingkungan dimana kita sudah tidak mendapat suatu hal yang
bermanfaat dari lingkungan tersebut, masa iya kita harus terus
bertahan??? Sampai kapan? Alasannya karena nanggung,
haha...
Saya
sudah beberapa kali quit dari suatu lingkungan di mana saya sudah tidak
merasa nyaman menjalaninya. Dulu saya pernah ikut suatu bisnis, namun
setahun kemudian koq saya tidak comfort dengan bisnis itu dan akhirnya saya
Quit. Menyesal? tentu tidak, selain saya tidak atau belum mendapatkan
keuntungan finansial apapun dari bisnis itu saya pun tidak comfort dengan
systemnya. Saya pun pernah quit dari kantor dan pernah quit dari bisnis
yang sudah saya tekuni selama 4 tahun. Alasannya tentu macam-macam,
intinya sih karena sudah tidak nyaman. Tentunya urusan finansial
juga berpengaruh. Contohnya waktu saya quit dari kantor.
Hitung-hitungannya sudah tidak masuk lagi dibandingkan dengan pengorbanan saya
meninggalkan anak-anak di rumah. Namun Alhamdulillah Allah kemudian
menggantinya dengan penghasilan dari bisnis. Lalu bisnis yang saya sudah
tekuni tahun 4 tahun dan masih memberikan keuntungan yang sangat lumayan
pun saya tinggalkan. Yupp karena passion saya bukan di sana, dan lagi ada
hal yang pribadi yang membuat saya pikir tidak lagi bisa membesarkan bisnis
itu. Bisnisnya mandeg walau masih profit.
Jadi
bagi saya, apa yang salah jika quit dari suatu kantor atau suatu bisnis atau
suatu lingkungan. Setiap orang tentunya akan mencari kenyamanan, entah
itu dari sisi finansial maupun batin, ukurannya berbeda-beda setiap
orang. Quit untuk mendapatkan yang lebih baik, why not? Biasanya
kita gampang quit jika passion kita terhadap pekerjaan atau bisnis tidak di
situ. Oleh karenanya tentukan passion Anda dan selaraskan dengan
pekerjaan atau bisnis yang akan Anda tekuni.
Pembaca, saya yakin anda pasti pernah mendengar ungkapan, "Winners
never quit and quitters never win", yang jika diterjemahkan menjadi,
"Pemenang tidak pernah berhenti (mencoba) dan pecundang tidak akan pernah
menang (karena berhenti mencoba)".
Tahukah anda siapa tokoh terkenal yang mendeklarasikan
pernyataan di atas? Benar sekali. Beliau adalah Vince Lombardi, pelatih
sepakbola Amerika yang mashyur.
Mungkin anda juga pernah mendengar perdana menteri Inggris, saat
perang dunia kedua, Sir Winston Churchill berkata, "Never, never, never
quit".
Nah, pertanyaan saya sekarang adalah, "Apakah anda yakin
dan percaya serta menerima sepenuhnya apa yang dikatakan oleh kedua tokoh
ini?"
Saya dulu sangat percaya. Bahkan saya menambahkannya dengan
pernyataan, "Sukses diukur bukan dari tingginya pencapaian. Sukses diukur
lebih berdasarkan seberapa besar hambatan yang berhasil kita atasi dalam proses
mencapai sukses" dan "Tidak penting berapa kali anda jatuh, yang
penting adalah berapa kali anda bangkit kembali setelah anda jatuh".
Lengkaplah sudah keyakinan saya ini. Berbekal keyakinan ini saya
membuat keputusan untuk terus maju tak gentar membela yang benar... eh salah..
tak gentar menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan dalam proses menuju
sukses yang saya idamkan.
Setiap kali saya ingin berhenti, selalu tidak bisa. Mengapa? Ya
itu tadi. Katanya, "Winners never quit and quitters never win".
Jika saya berhenti maka saya menjadi seorang pecundang. Wah... siapa yang mau
jadi pecundang? Karena tidak mau dikatakan sebagai pecundang inilah yang
membuat saya terus maju tak gentar, selama tujuh tahun, mengejar impian tanpa
melakukan analisis kritis terhadap situasi dan kondisi kehidupan pribadi saya.
Saya menggunakan jurus "pokoke". Pokoke maju terus.
Semua ini diperparah lagi dengan kepercayaan "Tidak ada
orang gagal. Semua orang pada dasarnya orang sukses. Mereka gagal karena mereka
berhenti terlalu cepat". Ck.. ck.. ck... betapa berbahayanya kepercayaan
ini.
Nah, pembaca, setelah mendengar sekilas kisah saya, dan melihat
judul artikel ini saya yakin anda pasti tahu ke mana arah pembahasan yang akan
saya lakukan. Sebelum saya teruskan saya ingin bertanya kepada anda. Anda jawab
jujur ya. Apakah anda juga pernah atau sedang mengalami hal yang sama
seperti yang saya alami? Bersyukurlah bila anda belum. Bersyukurlah juga bila
ternyata anda telah mengalaminya seperti saya. He..he..anda tidak sendirian.
Pertanyaan kritis yang seharusnya kita ajukan adalah,
"Benarkah winners never quit and quitters never win?"
Bagaimana kalau pernyataan Vince Lombardi di atas kita plesetkan sedikit
menjadi "Quitters can win if they know the right reasons, the right
way,and the right time to quit ".
Saya mendapat banyak email dan sms dari pembaca buku saya. Saya
melihat satu pola yang sama yaitu umumnya mereka berkeluh kesah mengenai hidup
mereka. Ada juga yang mengeluh mengenai bisnis yang sedang mereka jalankan.
Bisnis ini telah dijalani selama beberapa tahun tapi belum membuahkan hasil
seperti yang mereka inginkan. Mereka sangat ingin berhenti tapi nggak bisa.
Alasannya nanggung nih... sudah dijalankan beberapa tahun. Kan sayang
kalau berhenti di tengah jalan. Waktu saya kejar lebih jauh ternyata mereka
meyakini apa yang telah saya uraikan di atas. Intinya, jika berhenti mereka
akan menjadi pecundang. Benarkah seperti itu?
Keengganan berhenti atau quit juga terjadi di aspek
kehidupan lain. Ada seorang rekan yang telah menjalin hubungan dengan seseorang
pria selama hampir sepuluh tahun, dan dia tahu hubungan ini tidak akan ke
mana-mana, dan dia tahu pacarnya ini bukan tipe pria yang bertanggung jawab,
namun ia tidak berani quit atau memutuskan untuk putus. Waktu saya tanya
apa alasannya kok nggak berani putus dan cari pasangan lain yang lebih cocok,
jawaban yang saya terima sungguh mengejutkan saya, "Lha, saya kan sudah
pacaran hampir sepuluh tahun. Kalau harus memulai dari awal lagi rasanya berat
bagi saya. Selain itu usia saya sekarang juga sudah hampir 30 tahun. Sulit
mencari pasangan dengan usia saya sekarang ini. Rugi dong kalo saya berhenti
sekarang".
Wah... ini jawaban yang kurang pas. Menikah kan untuk
seterusnya. Lha, kalau ternyata waktu pacaran saja sudah begini modelnya trus..
mau jadi apa nanti waktu sudah menikah? Saya hanya bisa geleng-geleng kepala
saja karena bingung. Kalau dilihat sepintas rekan saya ini tampaknya nggak mau
rugi. Mungkin masa pacaran yang sudah sepuluh tahun ini dianggap sebagai masa
investasi. Dengan demikian ia telah menghitung ROI (return on investment)
dan berapa potential loss yang mungkin terjadi jika ia quit.
Pembaca, apakah kita boleh quit?
Tentu boleh. Siapa yang berhak melarang? Kan ini hidupnya kita
sendiri. Kita mau quit atau terus itu urusan kita. Orang lain nggak
boleh ikut campur. Satu hal yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh
yaitu saat kita quit, kita harus quit dengan alasan yang tepat.
Tidak asal quit.
Untuk yang ini saya serahkan sepenuhnya pada anda. Kita harus
jujur pada diri sendiri. Apakah kita quit karena kita memang malas,
tidak termotivasi, tidak tahan menderita, kurang ulet, ataukah kita quit
karena kita, setelah bekerja sangat keras dan berusaha dengan sungguh-sungguh,
sepenuh hati, melakukan whatever it takes, massive action dengan burning
desire, sampai pada satu kesimpulan bahwa apa yang kita lakukan ternyata
tidak sejalan dengan value atau nilai-nilai hidup kita.
Quit di sini jangan diartikan hanya untuk orang yang belum berhasil
mencapai sesuatu. Quit yang saya uraikan di sini juga berlaku bagi
mereka yang sebenarnya telah berhasil mencapai kesuksesan pada level tertentu
namun merasa hambar dengan hidup mereka.
Saya pernah membaca kisah seorang financial consultant,
di Jakarta, yang sangat sukses dengan karirnya, pada usia 40 tahun, memutuskan
untuk quit dan banting setir menjadi seorang pelukis. Benar, anda tidak
salah baca, menjadi seorang pelukis.
Tentu tidak mudah melakukan hal ini. Banyak kawannya yang
berkata bahwa ia gila karena meninggalkan karir yang begitu cemerlang, karir
yang telah memberikan hasil yang begitu besar, khususnya di aspek finansial.
Namun apa jawaban si financial consultant ini? "Saya merasa jauh
lebih tenang, damai, dan bahagia dengan menjadi seorang pelukis. Ini adalah
impian yang saya kubur sekian lama. Sekarang saya telah menjadi orang yang
bebas mengekspresikan diri saya sendiri" jawabnya lugas.
Nah, pembaca, pada contoh di atas, yang terjadi adalah
seringkali seseorang mendaki tangga kesuksesan, dan setelah mencapai puncak
tangga, ia baru sadar ternyata tangganya bersandar di tembok yang salah. Nah,
kalau begitu apa yang harus dilakukan? Ya banting setir seperti si financial
consultant ini.
Mengapa sampai bisa terjadi tangga bersandar di tembok yang
salah dan kita tidak tahu atau menyadarinya? Jawabannya sangat sederhana.
Apa itu?
Kebanyakan kita tidak merancang hidup dengan hati-hati dan
saksama. Manusia pada umumnya menjalani hidup asal-asalan. Mereka tidak punya
peta kehidupan yang akan mereka jalani. Bagaimana caranya agar bisa punya peta
kehidupan? Ya, kita rancang sendiri, dong.
Bagaimana cara merancang peta kehidupan?
Di berbagai buku pengembangan diri, seminar motivasi, seminar
sukses, dan berbagai program video yang saya pernah pelajari, umumnya kita
diminta untuk membuat daftar impian tertulis. Impian ini harus lengkap meliputi
berbagai aspek kehidupan. Ada aspek spiritual, finansial, bisnis-karir, materi,
sosial, keluarga, kesehatan fisik dan mental. Sayapun dulunya melakuan hal yang
sama dengan yang dianjurkan.
Namun seiring dengan berkembangnya kesadaran diri melalui proses
pembelajaran dan perjalanan hidup, saya akhirnya menyadari satu hal yang selama
ini luput dari perhatian saya. Ternyata untuk menyusun impian tidak asal susun.
Pemahaman yang saya dapatkan, dan ini yang sekarang saya bagikan kepada para
peserta seminar, workshop, dan kepada khalayak ramai melakui buku-buku yang
saya tulis, yaitu menyusun impian yang benar hanya bisa dilakukan dengan satu
syarat. Dan syarat inilah yang selama ini tidak diperhatikan kebanyakan orang.
Apa itu?
Langkah awal menyusun impian adalah dengan mencari tahu,
menetapkan, dan menyusun nilai-nilai hidup (value).
Lho, mengapa value? Kok bukan berdasar pendidikan yang
kita jalani?
Value adalah apa yang kita yakini sebagai hal yang penting bagi hidup
kita. Value berperan sebagai kompas yang mengarahkan perahu kehidupan
kita. Jika dihubungkan dengan cerita mengenai "tembok yang salah"
maka yang dimaksudkan dengan "tembok" sebenarnya value.
Dengan value sebagai fondasi maka impian yang disusun
tidak akan menyimpang dari tujuan hidup kita. Dengan demikian saat kita
mencapai puncak kesuksesan kita justru akan semakin semangat dan bahagia. Untuk
mengukur pencapaian seseorang sebenarnya bisa dilihat dari seberapa bahagia
kita saat kita mencapai impian.
Mengapa bukan berdasar pendidikan formal kita?
Karena ada begitu banyak orang yang salah jurusan, saat kuliah
di perguruan tinggi. Saya pernah memberikan konseling pada seorang wanita,
dokter umum usia 29 tahun, yang sedang mengambil spesialisasi menjadi dokter
tulang (orthopedist). Wanita ini mengaku bahwa ia sebenarnya tidak suka dengan jurusan
yang saat ini ia tempuh. Ia merasa letih sekali. Padahal ini baru di tahun
pertamanya. Waktu saya tanya, mengapa kok diteruskan, kok nggak
berhenti saja? Jawabannya, sama seperti jawaban yang biasa saya terima,
"Sudah kepalang basah, Pak. Kalo berhenti sekarang, trus... ngapain saya
kuliah di kedokteran umum?"
"Lho, dulu kok bisa milih masuk kedokteran?" tanya
saya lagi.
"Ya, soalnya katanya Om saya, kalo jadi dokter, hidupnya
enak" jawabnya.
"Trus... kenapa kok pilih tulang, kok bukan spesialis yang
lain?" kejar saya.
"Sebenarnya saya lebih suka jadi spesialis anak. Tapi
jurusan ini sangat sulit dimasuki. Saya sudah coba tapi nggak bisa. Saya hanya
dapat kesempatan spesialisasi tulang. Daripada nggak bisa kuliah lagi, ya saya
masuki saja", jawabnya enteng.
Kisah ini sangat berbeda dengan kisah kawan saya, Lan Fang, di
Surabaya. Lan Fang dulunya adalah seorang agen asuransi yang sangat berhasil.
Namun hatinya selalu gelisah. Ia merasa asuransi bukan dunia yang sesuai dengan
panggilan hatinya. Lan Fang senang menulis. Sambil menjadi agen asuransi ia
telah menulis beberapa novel yang ternyata sangat berhasil.
Cukup lama Lan Fang bimbang. Ia dipersimpangan jalan. Namun
setelah menimbang-nimbang, setelah melakukan perenungan mendalam, Lan Fang
akhirnya memutuskan untuk mengikuti suara hatinya, menjadi seorang penulis
buku, full time.
Banyak yang menyayangkan Lan Fang berhenti sebagai agen asuransi
mengingat potensinya yang sangat luar biasa. Namun Lan Fang memutuskan quit
dengan alasan yang tepat, di saat yang tepat, dan dengan exit strategy
yang tersusun dengan baik dan matang.
Sampai saat ini Lan Fang telah menulis delapan novel.
Diantaranya Reinkarnasi, Laki-laki Yang Salah, Perempuan Kembang Jepun, dan
Kota Tanpa Kelamin.
So... siapa bilang quitters never win? Seringkali the
real winner adalah mereka yang berani quit. Dan the real loser
justru mereka yang bersikeras berkata, "Never, never, never quit".
Anda perlu hati-hati agar tidak menjadi winner di antara para loser
karena anda adalah yang paling tidak mau quit.
Widifayra
MAU TURUN BERAT BADAN??? MAU LANGSING???
Awali Dengan SARAPAN SEHAT
Silahkan email/BBM/Whatsapp ke saya di:
akulangsing@gmail.com
PIN BB 25D2C485 (Widi) atau 29F17298 (Khaerul)
08999-120-899 / 0813-8802-7272 / 0819-555-1188
whatsapp : +62-899-9120-899 atau +62-819-555-11-88
Labels: adi gunawan, adi w gunawan, adi w.gunawan, motivasi, personal, quiter can win
|