Boleh Memilih Wakil Pimpinan Non Muslim???
Usai sudah pemilihan Gubernur DKI putaran kedua yang diselenggarakan hari Kamis tanggal 200 September 2012. Berbagai rumor dan isu mewarnai hari-hari (berminggu-minggu) menjelang pemilihan putaran kedua ini. Maklum saja saat putaran pertama gubernur incumbent (Foke-Nara) mendapat suara yang lebih sedikit dibanding gubernur penantang (Joko Wi-Basuki). Dan setelah kekalahan Foke-Nara, mereka segera mendapat dukungan dari parpol besar seperti Demokrat, PKS, Golkar, PPP yang mati-matian dengan berbagai macam cara berjuang untuk memenangkan calonnya. Sementara Joko Wi- Basuki/Ahok hanya didukung oleh PDIP dan Gerindra.
Sejak putaran pertama saya memilih Joko Wi-Ahok. Kedua orang ini sudah lama banget saya baca pemberitaan tentang mereka. Dari yang saya baca keduanya terkenal jujur dan merakyat. Jokowi juga mendapat banyak penghargaan atas prestasinya selama menjabat walikota Solo. Basuki/Ahok yang saya pernah baca beritanya, transparan dalam melaporkan data keuangan di daerah yang pernah dipimpinnya Belitung. Waktu itu saya berharap dia bisa memimpin ke yang lebih tinggi dari sekedar walikota. Nah kebeneran kedua orang ini dicalonkan menjadi gubernur DKI jadi otomatis saya memilih mereka.
http://www.tempo.co/read/news/2012/03/20/228391323/Siapa-Sebenarnya-Ahok-Pasangan-Jokowi-untuk-DKI-1
Sayangnya suara untuk memilih pasangan ini terganjal oleh agama Ahok yang non muslim (Kristen protestan). Isu SARA pun dilontarkan oleh pendukung Foke-Nara. Bahwa diharamkan memilih pemimpin non muslim berdasarkan surah Ali Imran ayat 28. Rhoma Irama pun melontarkan hal ini dalam ceramahnya di masjid yang direkam oleh seseorang dan diunggah ke youtube.com. Spontan langsung menuai kontroversi. Dibahas dan diulas dimana-mana.
Hal yang membuat saya tidak simpati ke pasangan Foke-Nara selain karena melontarkan isu SARA yakni agama Ahok yang non muslim dan suku Ahok yang Chinese, saya juga sebel dengan caranya berkampanye. Waktu itu anak saya mendapat undangan halal bihalal dari Gubernur DKI. Undangan via sekolahnya. Namun bukan anak saya saja dan gurunya yang diundang tapi murid+orang tuanya. Bahkan gurunya berpesan bahwa bila orang tua berhalangan boleh diwakili Oom/tante bahkan orang tua dan keluarga lainnya boleh datang. Ahaaaa tanpa bermaksud zuudson, ngapain pake ngundang ortu murid. Tahun lalu rasanya ga ada tuh. Yang undang dari Gubernur menjabat berarti dana penyelenggara darimana ya????? dari kantong Pemda??? Ini sih politisasi. Dan sebagian guru yang masih memakai hati nuraninya melaporkan tentang hal ini. http://news.detik.com/read/2012/09/18/174556/2024791/10/guru-guru-jakarta-tolak-politisasi-pilgub-putaran-kedua?991104topnews
Pernyataan-pernyataan Foke-Nara juga menyulutkan emosi dan rasa yang semakin tidak simpati kepada keduanya:
Belum lagi selebaran-selebaran yang saya dapatkan yang menjelek-jelekkan pasangan Joko-Wi-Ahok.
Saya menuangkan pendapat-pendapat saya tentang mengapa saya memilih Joko-Wi-Ahok di status akun saya di facebook. Banyak banget mendapat tanggapan positif. Namun ada 1 orang yang comment di status saya dengan argumen ayat Al-Quran yang juga sudah berkali-kali saya baca, baik saya cari sendiri maupun dari selebaran yang beredar dan itu saya sudah tahu lamaaaaaa. Tidak hanya itu berlanjut ke inbox yang juga dengan argumen ayat serta mengatakan bahwa zuudson kepada sesama muslim dengan menuduh (Foke-Nara) akan korupsi padahal saya tidak bilang kedua orang itu akan korupsi. Tidak saya baca semua karena malasss dan tidak saya reply. Percuma. Tidak hanya itu dia juga mengatakan bahwa disitulah akidah seorang muslim diuji. Maksudnya kalau saya memilih yang non muslim jadi akidah saya sudah goyah gitu??? Jelas saya tersinggung. Akidah kan masalah prinsip. Tidak rela dong saya dikait-kaitkan akidah saya dengan siapa yang saya pilih. Siapa pun yang saya pilih saya tetap yakin dengan agama saya koq. Saya tetap muslim. Lalu saat saya menulis di status saya bahwa Ahok hanya wakil yang tentunya nurut ke Jokowi. Lagi pula Ahok ga mungkinlah membuat program yang bisa mempengaruhi orang masuk ke agamanya. Ada Joko Wi sebagai bossnya, ada DPRD, ada presiden dan ada masyarakat yang 85% muslim yang mengawasi. Ada teman saya yang komentar bahwa kalau menolak pemimpin non muslim semua yang merasa ketua kelasnya, ketua OSIS, ketua RT, piminan di kantor dan pimpinan lain2 non muslim harus menolak. Kalau ga bisa ya harus keluar. Saya pun menambahkan orang-orang yang dengan prinsip seperti itu juga harus konsisten jangan mau masuk ke perusahaan asing yang pemilik dan bossnya notabene non muslim, juga yang tinggal di negara yang presidennya non muslim harus keluar dari negara itu. Juga tolak beasiswa dari negara yang pimpinannnya non muslim. Saya bahas sembari bercanda (ada tulisan haha..). Maksudnya saya ketawain orang-orang yang berprinsip seperti itu tapi masih mengiyakan jika kerja di perusahaan non muslim, tinggal di negara non muslim atau mendapat beasiswa dari negara non muslim. Bukan ayatnya yang diketawain. Ehh dia comment lagi dan menegur saya karena ayat Alquran dibahas secara-berolok-olok(?). Itu versi dia ya. Makanya jangan zuudson juga. Tapi saya malas membahas masalah ini dengannya. Toh saya juga bukan ahlinya. Pengetahuan saya juga dangkal. Jadi saya minta dia menghargai perbedaan pendapat ini dan biarkan menjadi tanggung jawab masing-masing kepada Allah SWT. Saya minta tidak usah dibahas lagi. Sempat membuat saya kepikiran juga akan hal ini. Koq gitu ya. Sekarang kalau saya tanya dia setujukah dengan prinsip teroris muslim untuk membunuh non muslim? Mungkin dia jawab ga setuju padahal teroris itu dasarnya juga AL-Quran. Sama halnya dengan ini. Tiap orang punya pemahaman dan pendapat masing-masing. Karena saya malas terima commentnya lagi saya inactive dulu dari fb untuk sementara. Kebetulan lagi sibuk urusin Falya. Heran juga ya. Kalau dia punya pendapat sendiri mbok ya tulis aja di wallnya gitu lho dengan argumen-argumennya, ga usah comment di wall yang berbeda pendapat dengan dia yang malah timbul jadi perdebatan. Kan ga enak jadinya mana dia sebenarnya adalah teman dekat saya. Tapi ya ada batas-batas pribadi/prinsip yang tidak boleh kita melangkah lebih dari itu apalagi menyinggung masalah akidah. Bagi saya itu prinsip.
Saya juga ga bodoh koq. Saya juga baca berbagai pendapat tentang hal ini.
Setelah menyelidiki sifat universalias term, penyelidikan
selanjutnya adalah mengenai makna masing-masing term.
“orang-orang beriman dilarang menjadikan yahudi dan nasrani sebagai pemimpin”.
Ada banyak pertanyaan untuk memahami makna masing-masing term di dalam kalimat
tersebut. sebagai contoh :
Siapa yang dimaksud “orang-orang beriman” dalam surah al Maidah : 51 ? apakah
rakyat Jakarta yang beragama Islam termasuk di dalamnya?
Siapa orang yahudi dan nasrani yang dilarang untuk dipilih itu, apakah Ahok
termasuk di dalamnya?
Siapa saja yang dilarang untuk menjadikan yahudi dan nasrani sebagai pemimpin,
apakah hanya orang-orang beriman saja?
Tetapi satu pertanyaan yang penting adalah “pemimpin apa yang dimaksud dalam
ayat tersebut?”
Apa di dalam al Quran dan Hadits dijelaskan bahwa maksud “pemimpin” dalam ayat
tersebut adalah “pemipin negara” ? Apakah tidak mustahil bahwa yang dimaksud
“pemimpin” dalam ayat tersebut bukanlah “gubernur”, “pemipin dareah” atau
“pemimpin negara” ? apakah mustahil bila maksud “pemimpin” dalam ayat tersebut
adalah “pemimpin spiritual” ?
Kita perhatikan dalam al Quran, ada banyak istilah berbeda yang digunakan, yang
ketika di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya menjadi sama, yaitu
“Pemimpin”. Ada “Imam”, “Khalifah” dan “Aulia”. Dalam surah al maidah : 51
tersebut menggunakan lafadz Aulia? Apakah itu semua sama saja artinya?
Semoga pertanyaan-pertanyaan ini, dapat merangsang kita semua untuk berpikir
lebih cermat mengenai fenomena Isu Sara Rhoma Irama ini, sehingga melahirkan
kebenaran yang jelas. Aamiin.
Dan analisa ini:
Penulis : Anita Tahmid Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo dan pernah
mengikuti Sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara MPR RI
Tahun 2012
Beberapa waktu lalu, ketika banyak
pihak mempersoalkan ceramah Pak Rhoma Irama di Masjid Al Isra Tanjung Duren,
Raja Dangdut itu menjawab sebagai berikut:
Saya menyampaikan firman Allah di
rumah Allah. Apakah hal itu salah? Saya hanya menyampaikan kebenaran. Jika umat
Islam memilih pemimpin yang kafir, maka mereka akan menjadi musuh Allah. Jika
memilih pemimpin Non-Muslim, hukumannya akan menjadi musuh Allah dan mendapat
azab di akhirat nanti. Allah melarang dengan tegas untuk memilih yang
Non-Muslim dan ini perlu saya sampaikan karena sanksinya berat. Saya wajib
menyampaikan kebenaran. Bagaimana jika banyak umat Islam menjadi musuh Allah?
(Berbagai sumber media).
Kemudian, ketika banyak pihak
mempermasalahkan pernyataan Pak Marzuki Alie saat tampil sebagai pembicara
seminar di hadapan Kader-kader Fatayat NU Jakarta, Ketua DPR itu menjawab
sebagai berikut:
Kritik yang tidak sehat sudah
menjadi bias jauh dari substansi materi seminar dan berkembang luas di media
masa, terutama berbagai media sosial yang bersumber dari berita yang dimuat di
salah satu media online. Namun, selaku muslim yang berbicara dalam komunitas
muslim, dalam kelompok warga NU Ahlussunnah wal Jamaah, referensi tulisan dan
ceramah saya tentu bersumber dari hukum Islam, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah,
sebagaimana sering saya khotbahkan sebagai khotib Jum’at, ataupun kegiatan
keagamaan lainnya. (kompasiana.com).
Pernyataan Pak Rhoma, Pak Marzuki
serta banyak para penceramah dan khotib tidak bisa dilepaskan dari pesta
demokrasi yang sedang berlangsung di Ibukota Negara sekarang ini. Saya yakin
kalau bukan karena ada Calon Wakil Gubernur yang beragama Kristen Protestan,
pastilah tidak akan ada ceramah dan khotbah yang menyuruh umat Islam memilih
pemimpin yang seiman, pastilah tidak akan ada selebaran dan baliho yang
melarang umat Islam memilih pemimpin Non-Muslim.
Saya terdorong untuk mengkaji apakah
yang disampaikan Pak Rhoma dalam ceramah Ramadhan itu sebuah kebenaran; apakah
jika umat Islam tidak memilih pemimpin yang beragama Islam sanksinya berat,
menjadi musuh Allah dan diazab di akhirat. Juga, apakah referensi tulisan dan
ceramah Pak Marzuki itu benar-benar bersumber dari hukum Islam, yaitu Al-Quran
dan As-Sunnah. Intinya, tulisan ini akan mengupas hukum memilih Calon Wakil
Gubernur yang beragama Non-Muslim.
Saya sudah membaca makalah Pak
Marzuki yang berjudul “Nilai-Nilai Kepemimpinan di dalam Ajaran Islam”.
Menurutnya, dasar kepemimpinan di dalam Islam yang harus dijadikan landasan,
antara lain tidak mengambil orang Kafir atau orang yang tidak beriman sebagai
pemimpin bagi orang-orang Muslim. Sayangnya, di makalah itu Pak Marzuki hanya
mengutip ayat dan terjemahnya tanpa ada penjelasan.
Bukan Negara Islam
Dalam UUD 1945 tidak ada pasal dan ayat yang menyebutkan
keislaman Negara Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Pakistan, Mesir, Arab
Saudi dan Suriah yang mencantumkan Islam dalam Konstitusi sebagai agama Negara,
sehingga seluruh peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada ajaran
Islam.
Dulu, sewaktu BPUPKI membahas rancangan Konstitusi, memang
sempat muncul dalam Pembukaan UUD kata-kata “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pengikut-pengikutnya”, dan
dalam batang tubuh UUD ada pasal yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia
asli yang beragama Islam”, namun kata-kata itu kemudian dirubah menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Presiden ialah orang Indonesia asli. Para Pendiri
Republik ini sepakat bahwa Indonesia bukan Negara Islam.
Ketika UUD dibahas kembali oleh Konstituante hasil Pemilu
1955, mereka gagal menyusun Konstitusi baru, maka Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Amandemen UUD yang
dilakukan MPR hasil Pemilu 1999 juga tidak mengubah Indonesia menjadi Negara
Islam.
Dengan demikian, Negara kita bukan merupakan Negara Islam.
Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengakui keberadaan
agama Kristen, Katholik, Hindu dan Budha, selain agama Islam. Di mata Negara,
kedudukan semua pemeluk agama sama dan mempunyai hak yang sama, termasuk hak
memilih dan hak dipilih. Hal ini ditegaskan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang
menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan…” dan Pasal 28D Ayat 3 yang menyatakan “Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh
warga Negara harus mengedepankan ayat-ayat Konstitusi daripada ayat-ayat Kitab
Suci. Konstitusi adalah kesepakatan dan konsensus yang dibuat oleh seluruh
warga Negara, yang diwakili oleh wakil-wakilnya di MPR. Karena itu wajib
hukumnya, bagi seluruh warga Negara untuk menaati dan mematuhinya.
Allah berfirman dalam Surat An-Nahl : 92, yang terjemahnya
sebagai berikut:
“Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan
janganlah kamu melanggar sumpah setelah diikrarkan, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan
yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai
kembali…”
Saya menafsirkan ayat ini dalam konteks hidup berbangsa dan
bernegara, bahwa semua warga Negara berkewajiban menepati perjanjian yang telah
dibuat, yang dituangkan dalam Konstitusi.
Pintalan benang yang kuat bisa dimaknai persatuan dan
kesatuan Indonesia. Umat Islam sebagai bagian dari warga Negara, dilarang
mencabik-cabik dan menggores persatuan dan kesatuan, seperti seorang perempuan
yang menguraikan benang yang sudah terpintal dengan kokoh, sehingga benang
menjadi cerai berai.
Karena itu, segala aktifitas baik ucapan maupun tulisan yang
berpotensi memecah belah persatuan, tidak saja bertentangan dengan Konstitusi,
tapi juga bertentangan dengan ajaran agama, dan itu harus dihindari oleh
siapapun, terutama oleh para pemuka agama dan penyelenggara Negara.
Dasar Hukum Larangan Pilih Pemimpin Non-Muslim
Jika kita membuka “Al-Quran dan Terjemahnya” yang
dikeluarkan Departemen Agama RI, kita akan menemukan setidaknya ada 4 ayat yang
melarang umat Islam untuk memilih pemimpin Non-Muslim. Surat Ali Imran : 28,
An-Nisa : 138-139, An-Nisa : 144 dan Al-Maidah : 57.
Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua Terjemah Al-Quran
mengartikan kata “auliya” pada ayat-ayat ini dengan pemimpin. Ada yang
mengartikan kata wali sebagai teman setia, kekasih, orang kepercayaan, penolong
dan pelindung. Karena itu, mengkaji suatu hukum tidak bisa mengandalkan
terjemah semata-mata. Apalagi terjemah kata per kata, antara satu penerbit
dengan penerbit lainnya bisa berbeda-beda. Kita perlu juga membuka kitab-kitab
Tafsir.
Coba kita lihat Surat Ali Imran : 28, yang terjemahnya
sebagai berikut:
”Janganlah orang-orang Mukmin menjadikan orang-orang Kafir
sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah-lah
tempat kembali.”
Dalam Kitab Tafsir Al-Alusi, Al-Bahrul Muhith dan Ruhul
Ma’ani disebutkan asbabun-nuzul (sebab turunnya) ayat ini adalah berikut
ini:
Menurut satu riwayat, ayat ini turun ditujukan kepada Ubadah
bin As-Samit. Ia mempunyai sekutu atau sahabat dari kalangan Yahudi. Ia mau
meminta pertolongan kepada mereka dalam rangka menghadapi musuh, maka turunlah
ayat ini.
Riwayat lain menyebutkan ayat ini turun ditujukan kepada
orang-orang Munafik, seperti Abdullah bin Ubay dan teman-temannya yang
bersekutu dengan orang-orang Yahudi.
Riwayat lain lagi menyebutkan bahwa Al-Hijjaj bin Amr, Ibnu
Abil Huqaiq dan Qais bin Zaid dari kalangan Yahudi membisiki sesuatu kepada
kelompok Anshor dengan niat yang tidak baik menyangkut agama. Melihat hal itu,
Rifa’ah bin Munzir, Abdullah bin Zubair dan Sa’ad bin Khaisamah berkata kepada
orang-orang Anshor itu, “Menjauhlah Kalian dari orang-orang Yahudi itu dan
berhati-hatilah! Jangan sampai mereka melakukan rencana buruk terhadap agama
Kalian.” Tetapi orang-orang Anshor tetap pada pendiriannya, mereka tak
bergeming, maka turunlah ayat ini.
Dengan demikian, ayat-ayat ini bukan sedang berbicara
kepemimpinan. Bandingkan dengan Surat Al-Maidah : 51; Ali Imran : 118; An-Nisa
: 89; dan At-Taubah : 23.
Meskipun demikian, di sini saya tidak akan memperdebatkan
soal penerjemahan wali menjadi pemimpin. Saya mencoba mengikuti alur pemahaman
mereka yang memandang ayat-ayat ini sebagai dasar larangan mengangkat pemimpin
Non-Muslim. Seharusnya, jika itu yang dipahami, maka pemahamannya jangan
berhenti sampai di situ. Membacanya harus utuh, lengkap atau menyeluruh.
Alasan Larangan Pilih Pemimpin Non-Muslim
Seorang ulama Al-Azhar Kairo, Syaikh Ahmad Musthofa Al
Maraghi dalam Kitab Tafsirnya, menafsirkan Surat Ali Imran : 118, bahwa
orang-orang Islam dilarang mengambil orang-orang Non-Muslim, seperti
orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik sebagai pemimpin atau teman setia,
bila mereka memiliki sifat-sifat seperti yang ditentukan dalam ayat tersebut,
yaitu:
- Mereka tidak segan-segan merusakkan dan mencelakakan
urusan orang-orang Islam
- Mereka menginginkan urusan agama dan urusan dunia
orang-orang Islam dalam kesulitan yang besar
- Mereka menampakkan kebencian kepada orang-orang Islam
melalui mulut mereka yang terang-terangan
Sifat-sifat tersebut adalah persyaratan yang menyebabkan
dilarangnya mengambil pemimpin dan teman setia yang bukan dari orang-orang
Islam.
Bila ternyata sikap mereka berubah, seperti orang-orang
Yahudi yang pada permulaan Islam terkenal sebagai golongan yang paling memusuhi
orang-orang Islam, kemudian mereka mengubah sikap dengan mendukung Islam dalam
penaklukan Andalusia. Juga seperti orang-orang Kristen Koptik yang membantu
orang-orang Islam dalam menaklukkan Mesir dengan mengusir orang-orang Romawi
yang menduduki lembah Sungai Nil itu. Dalam keadaan seperti itu tidak dilarang
mengambil mereka sebagai pemimpin atau teman setia.
Khalifah Umar sendiri membentuk orang-orang yang mengurusi
dewannya dari orang-orang Non-Muslim. Dan para khalifah sesudahnya melakukan
hal yang sama. Ketentuan ini dijalankan oleh pemerintahan Bani Abbas dan lain
sebagainya dari kalangan Raja-raja Islam. Mereka mempercayakan jabatan-jabatan
kenegaraan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Pendapat Syaikh Yusuf Qaradhawi tak jauh beda dengan Syaikh
Al Maraghi. Dalam buku Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, doktor alumni
Universitas Al-Azhar itu mengatakan, orang-orang Islam dilarang mengangkat
orang-orang Non-Muslim sebagai teman, orang kepercayaan, penolong, pelindung,
pengurus dan pemimpin, bukan semata-mata karena beda agama. Akan tetapi, karena
mereka membenci agama Islam dan memerangi orang-orang Islam, atau dalam bahasa
Al-Quran disebut memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Syaikh Qaradhawi mendasarkan
pendapatnya pada Surat Al-Mumtahanah : 1, yang terjemahnya sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan
musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada
mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang. Padahal mereka telah
ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan
kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu…”
Syaikh Qaradhawi yang juga Ketua Persatuan Ulama Muslim
Internasional, membagi orang Kafir atau Non-Muslim menjadi dua golongan.
Pertama, yaitu golongan yang berdamai dengan orang-orang Islam, tidak memerangi
dan mengusir mereka dari negeri mereka. Terhadap golongan ini, umat Islam harus
berbuat baik dan berbuat adil. Di antaranya memberikan hak-hak politik sebagai
warga Negara, yang sama dengan warga Negara lainnya, sehingga mereka tidak
merasa terasingkan sebagai sesama anak Ibu Pertiwi.
Sedangkan golongan kedua, adalah golongan yang memusuhi dan
memerangi umat Islam, seperti orang-orang Non-Muslim Mekah pada masa permulaan
Islam yang sering menindas, menyiksa dan mencelakakan umat Islam. Terhadap
golongan ini, umat Islam diharamkan mengangkat mereka sebagai pemimpin atau
teman setia.
Pendapat Syaikh Qaradhawi ini didasarkan pada Surat
Al-Mumtahanah : 8, yang terjemahnya sebagai berikut:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama, dan tidak pula
mengusir kamu dari kampong halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.”
Boleh Memilih Calon Wakil Gubernur
Non-Muslim
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa, hukum
dilarangnya mengangkat orang-orang Non-Muslim sebagai pemimpin karena adanya illat
(alasan), yaitu adanya kekhawatiran dampak negatif bagi agama dan umat
Islam. Selama pemimpin Non-Muslim tersebut diyakini mendatangkan keburukan atau
kemudharatan, maka hukum memilihnya tidak boleh. Sebaliknya, bila keyakinan
adanya bahaya itu tidak ada, maka hukumnya boleh. Umat Islam boleh memilih
Calon Wakil Gubernur Non-Muslim, jika Pejabat tersebut tidak dikhawatirkan akan
menghancurkan Islam dan memerangi umat Islam.
Di samping itu, dalam situasi dan kondisi Indonesia yang
demokratis, tentu kekhawatiran seperti itu kurang beralasan, karena kekuasaan
Pemerintah Daerah tidak mutlak dan tidak absolut. UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah telah mengatur apa saja yang menjadi tugas dan kewenangan
serta kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta apa saja yang
tidak boleh dilakukan.
Misalnya Pasal 28 Poin (a) menyebutkan, Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan
keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok
politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan
kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan
warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;
Kebijakan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak bisa
sewenang-wenang dan sesuka hatinya, namun harus didasarkan peraturan
perundang-undangan. Jika ada Kepala Daerah atau Wakilnya yang berani melanggar
aturan, maka bersiap-siaplah untuk berurusan dengan aparat penegak hukum dan
menghadapi demonstrasi rakyat.
Kebijakan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak bisa
ditentukan sendiri secara otoriter. Setiap kebijakan yang diputuskan harus
melalui musyawarah dengan banyak pihak, dan dalam pelaksanaannya diawasi oleh
rakyat dan wakil-wakilnya yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, serta
dikontrol oleh koran, majalah, televisi, radio, dan juga LSM.
Semoga Allah membukakan pintu hati kita untuk bisa bersikap
adil kepada sesama warga Negara, tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras
dan golongan. Janganlah karena perbedaan, lantas kita menutup mata terhadap
kelebihan-kelebihan orang lain. “…Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu golongan, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah…” (Surat
Al-Maidah : 8)
Dannnnnn ternyata penduduk Jakarta lebih banyak yang memilih Joko Wi-Basuki. Setelah jam 1 siang batas waktu pencoblosan segera dilakukan perhitungan Quick Count. Hasilnya perolehan suara Joko Wi-Basuki mengungguli Foke-Nara bahkan Foke sudah memberikan ucapan selamatkepada Joko Wi. Saya angkat topi kepada Foke sangat ksatria dan gentle menelpon Joko Wi. Semoga Foke tetap mau membantu bahu membahu membenahi Jakarta. Tidak ada yang kalah atau menang koq. Jadi teteup kaleummmm ya.... Semoga Joko Wi-Ahok bisa membuat Jakarta lebih baik lagi. Mohon doa dari semuanya. Aamiinnnn.
Widifayra
Mau Langsing dengan Nutrisi Sehat Alami?
Just klik
Labels: Ahok. boleh memilih pimpinan non muslim, Joko Wi, pimpinan non muslim |
Post a Comment