Perlukah Rangking Kelas?
Perlukah rangking kelas?
Mungkin bagi sebagian orang rangking kelas perlu banget namun bagi saya
tidak terlalu perlu. Perlunya mungkin
hanya untuk mengetahui siapa murid di kelas yang sedikit lebih (lebih rajin
ataupun lebih pintar), namun tidak perlu dikejar jika tujuannya untuk meraih
peringkat yang lebih tinggi dan bukan dengan tujuan meraih nilai yang lebih
baik.
Kemarin saya ke sekolah anak saya yang pertama -Falya- untuk
mengambil raport. Saya datangnya agak
siang sekitar jam 10-an dengan maksud supaya tidak antri. Benar juga saat saya datang hanya ada satu
orang ibu yang sudah duduk di depan meja guru.
Lumayan…habis ibu itu kan saya yang maju. Karena kelas sudah sepi saya mau tidak mau
ikut mendengarkan percakapan ibu itu dengan si wali kelas. Dari pembicaraan mereka saya bisa menangkap
bahwa si ibu begitu konsen dengan rangking sang anak sampai beliau mencatat
siapa-siapa saja murid yang rangkingnya di atas anaknya. Si wali kelas mengatakan bahwa targetnya ga
usah tinggi dulu bu, target awalnya rangking 7 atau 8 dulu. Si ibu langsung mnimpali, "Soalnya perlu pak
nanti dia mau masuk…..bla..bla…bla… " Si
wali kelas pun kembali menjelaskan bahwa di sekolah ini memang persaingan
tinggi karena nilai minimal 81 untuk semua mata pelajaran. Di SMP lainnya yang sama-sama RSBI ada yang
mensyaratkan nilai minimal cukup di angka 75.
Setelah si ibu itu pulang tibalah giliran saya maju. Saya sih sudah tahu rangkingnya Falya karena
sebelum naik ke lantai 3 (dimana kelasnya Falya berada) kami sudah melihat papan
pengumuman rangking umum dan Falya berada di peringkat umum 17 dari 240
siswa. Untuk mengetahui rangking kelas
tinggal menghitung dari atas karena kebetulan sebagian besar peringkat umum
1-16 adalah teman sekelas Falya. Untuk
peringkat kelas Falya rangking 11.
Pertanyaan pertama yang diajukan sang wali kelas kepada
Falya adalah berapa banyak kegiatan ekskul yang diikuti, dan Falya menjawab 4
ekskul yakni Japanese, Broadcast, English Club dan Tari Tradisional. Yang disarankan sebenarnya hanya 3 ekskul
karena hanya ada 3 kolom nilai untuk ekskul yang dicantumkan di raport. Sang wali kelas bertanya lagi apakah Falya
kesulitan mengatur waktu. Kalau
kesulitan maka beliau akan membatasi.
Saya akui Falya selalu ngantuk sepulang ekskul yang menyebabkan dia
tidak sanggup lagi belajar. Apalagi
selain 4 ekskul di sekolah, Falya ikut lagi les tari Bali di Bulungan. Tapi saya perhatikan saat tidak ada ekskul
pun nyaris setiap habis magrib dia sudah ngantuk. Kalau sama aja mah mending dia ikut ekskul
lebih berguna bagi dia kelak.
Dari ikut
ekskul Japanese sudah mengantarkan Falya ke Jepang 10 hari, gratis!!!. Sang wali kelas bertanya ke saya apakah saya
keberatan dengan nilai dan peringkat yang diraih Falya. Apakah saya punya target agar Falya masuk 5
besar dan untuk itu ekskulnya terpaksa dikurangi? Dengan nilai rata-rata yang diraih Falya
yakni 87,__ lebih dengan nilai math 96
dan nilai pelajaran lain antara 81-89 apakah saya terpaksa harus menyuruh Falya
mengurangi ekskul demi mencapai nilai yang lebih tingggi dan peringkat 5
besar? Dengan tegas saya menjawab saya
sudah cukup puas dengan perolehan nilai anak saya. Dengan frekwensi belajar Falya yang menurut
saya jarang dan cenderung cuek dan dengan ekskul yang cukup banyak itu sudah
luar biasa bagi saya. Lebih baik Falya
tidak usah rangking 1 daripada harus mengorbankan ekskulnya. Lagipula Falya ini berada di kelas
khusus. Jadi di sekolah Falya, selain
ada kelas aksel, di kelas 8 dibentuk lagi 2 kelas khusus. Kelas khusus ini berisi masing-masing 30
orang murid dan disaring melalui test tersendiri. Yang berhak ikut test adalah mereka yang
meraih peringkat umum 1-120 sewaktu di kelas 1.
Saat kelas 1 Falya meraih peringkat umum 16 dan peringkat 4 kelas. Waktu ada test untuk kelas khusus Falya minta
ijin sebelumnya. Tentu saja saya
mengijinkan. Kan jika diterima dia akan
berada di lingkungan anak pintar dan rajin setidaknya dia ikut terbawa. Kata Falya, tapi mungkin rangkingnya akan
turun karena sekelas anak-anak pintar semua.
Saya balik nanya ke Falya, sejak kapan mama mewajibkan kamu harus rangking
1 atau rangking 5 besar? Kalau mau
rangking 1 jangan masuk SMP RSBI. Masuk
saja SMP regular yang saingannya sedikit (SMP regular banyak juga lho yang
bagus setara RSBI, bedanya mereka tidak pakai English untuk math dan
science). Dan Alhamdulillah falya
berhasil tersaring masuk kelas khusus.
Kalau dilihat dari peringkat umum Falya hanya turun 1 peringkat. Jadi prestasinya masih samalah dengan di
kelas 1.
Sang wali kelas pun meng-amini pendapat saya tentang
rangking. Ternyata ada beberapa teman
Falya yang rangkingnya lebih tinggi namun dia tidak ikut satupun ekskul di
sekolah. Padahal ekskulnya gratis lho. Mungkin juga sih dia ikut ekskul di luar
sekolah, ga tahu juga. Namun sayang
sekali kalau tidak ikut di sekolah karena gratis. Kalau di luaran kan bayar, rata-rata les
apapun Rp.250-500rb/bulan.
Setiap orang memang punya rancangan sendiri terhadap
anak-anaknya. Kalau saya mewajibkan anak
ikut kegiatan di luar sekolah dengan catatan bukan les pelajaran lho. Pelajaran cukup di sekolah saja. Kalau bisa harus ikut les seni
sebanyaknya. Seni sangat membantu
anak-anak dalam bidang apapun baik nanti dia berbisnis maupun jadi
karyawan. Apalagi kedua anak saya kalau
ditanya cita-citanya mau jadi pengusaha haha…
Wah itu kudu banyak ikut ekskul supaya wawasannya berkembang, intuisi
semakin tajam, networking semakin luas, dan tentunya keberanian.
Widifayra
MAU TURUN BERAT BADAN??? MAU LANGSING???
Labels: Pendidikan, rangking, sekolah |
Post a Comment